Senin, 08 Agustus 2011

SEKILAS SEJARAH TENTANG "VENITIE VAN OOST"

Written by: Apriansyach Taufik

Jembatan Ampera dan Sungai Musi


Rabu, 29 Juni 2011 bertepatan dengan Hari Libur Peringatan Isra' Mi'raj, menjelang sore diantara dua rak buku di salah satu toko buku ternama yang ada di jalan Margonda Raya Depok, rencananya sih mau cari buku tentang Maintenance of Medical Equipment. Bosen karena buku yang dicari ga ketemu, iseng - iseng cari buku di rak kumpulan buku sejarah dan sosial, eh ga sengaja nemuin sebuah buku (maaf judunya lupa) yang membahas tentang kearifan lokal dari sebuah kota pada masa Kolonial Belanda yang dijuluki sebagai "Venetie van Oost" atau dalam bahasa Inggrisnya "Venice of The East" alias Venesia dari Timur. Kota ini juga dijuluki sebagai Negeri Seribu Sungai, Negeri Batanghari Sembilan dan Bumi Sriwijaya, Palembang.




Saking asyiknya membaca, sampai-sampai lupa dengan tujuan awal ke toko buku. Alhasil hari sudah hampir menjelang Shalat Ashar tiba. Tapi Alhamdulillah waktu tak terbuang dengan percuma, meskipun ga ada buku yang jadi dibeli, setidaknya saya bisa mendapatkan tambahan pengetahuan mengenai kota dimana tempat nenek moyangku berasal secara gratis. Hehe...

Lembar demi lembar saya baca dengan sekilas, sambil melihat-lihat gambar yang memuat foto-foto tentang situasi kota dan masyarakat Palembang pada masa Kolonial Belanda. Sentak mataku tertuju pada dua buah puisi. Mungkin bagi sebagian orang bait dari setiap kalimat yang ditulis pada puisi-puisi tersebut akan terlihat cukup sederhana, namun tidak bagiku, karena kedua puisi itu berisikan tentang nilai dan pesan yang mengkiaskan suasana batin dari sang penulis mengenai fenomena dan situasi yang terjadi pada masa itu.





Berbekal sebuah "handphone  butut" , saya tulis bait-bait dari puisi tersebut. Berikut kutipannya:

(Djawatan Penerangan, Sumatera Selatan 1965)

Berajoen berombak deras di bawah
Tenang, bersatu alam djaja sempoerna
Dempo rujukan Batanghari Sembilan
Riak gelombang Musi menawan
Tu lah dia Sumatera Selatan

Puisi tersebut mengkiaskan tentang indahnya suasana dari Sungai Musi yang telah menjadi simbol peradaban yang menemani sepanjang sejarah kota tua ini, dan menjadi saksi atas derasnya arus kehidupan Provinsi Sumatera Selatan dari masa ke masa. Beranjak dari puisi yang pertama diatas, berikut kutipan puisi yang kedua yang saya dapati:





"Delapan Cerobong Asap"
 Karya: Alifiah Sahib
Obor Rakyat, Palembang, 16 Juli 1961

Asap terus mengepul
Angin tetap berdendang
Perusahaan asing terus mengeruk kekayaan
Di muara aliran Komering
Menghiasi dua perusahaan di pematang

Tangan Musi menyapa
Mari kita nak ke laut
Ke samudera intip penyelundup
Komering dan Lematang dengan riak-riak litjah
Tertawa bersatu guna melindungi gadis Palembang

Bila pesta di air Musi
Selesai di tahun djanji
Gadis berkerudung bukakan tirai
Budjang Palembang meminang ke Uluan

Masjid Sultan Mahmud Badaruddin II


Pada puisi yang kedua ini tak hanya mengkiaskan tentang besarnya fungsi Sungai Musi sebagai bagian dari sejarah masyarakat setempat, namun juga berkisah tentang hiruk pikuk perkembangan dan permasalahan Kota Palembang sebagai pusat pemerintahan dan peradaban dari Provinsi Sumatera Selatan. Kemudian memuat tentang keragaman budaya serta persatuan masyarakat Sumatera Selatan dalam menghalau dan melindungi Kota Palembang dari ancaman penjajah dan penyelundup dari luar.

Memang takkan pernah habis kata untuk mengulas perjalanan sejarah dari kota tua yang satu ini, dimana tempat bertemunya berbagai unsur budaya sejak zaman kejayaan imperium maritim nusantara Kerajaan Sriwijaya, mungkin sebagian dari kita tak banyak yang tahu dan mengenal eksistensi dari kerajaan ini, karena dari beberapa buku pelajaran sejarah yang disajikan untuk SD, SMP hingga bangku SMA terkadang bahasan mengenai kerajaan yang satu ini tidaklah diulas dengan lebih rinci, hal ini dikarenakan memang sulitnya para pelaku dan peneliti sejarah untuk mencari bukti-bukti fisik peninggalan kejayaannya, dan juga sebagai imbas dari politik masa lalu negara ini yang cenderung untuk tidak mengangkat kearifan lokal yang berasal dari luar (maaf) Pulau Jawa.

Jembatan Musi I


Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, dimana peradaban Melayu bermula, hal ini didasarkan pada prasasti Kedukan Bukit (683 M) yang diketemukan di Bukit Siguntang, sebelah barat Kota Palembang, yang menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang merupakan ibukota Kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 683 Masehi (tanggal 5 bulan Ashada tahun 605 Syaka). Maka tanggal tersebut dijadikan patokan hari lahir Kota Palembang. Batu-bersurat (prasasti) itu ditemukan oleh Controleur Batenberg di tepi Sungai Kedukan Bukit (Pada masa silam di sebut Sungai Melayu), yakni diantara Bukit Seguntang dengan Situs Karanganyar pada tahun 1926 dengan menggunakan huruf Pallawa dan Bahasa Melayu Kuno.

Palembang dari masa ke masa menjadi salah satu kota pelabuhan tersibuk di Asia Tenggara, sebagai persinggahan bagi kapal-kapal yang melintasi rute perairan Selat Malaka, hal tersebut menjadi daya tarik bagi para pendatang baik dari China, India maupun dari dataran Timur Tengah hingga dari "Benua Biru" Erofa, baik untuk berdagang maupun untuk menjajah. Sehingga pada saat ini, di Kota Palembang khususnya kita bisa menemukan percampuran budaya yang dibawa oleh berbagai etnis pendatang tersebut.

Sebagai salah satu bukti, berikut saya kutip dari beberapa artikel sejarah mengenai dua pucuk mukadimah surat dari Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Ummayyah di Baghdad dan Damsyik. Surat pertama ditujukan kepada Khalifah Muawiyah Bin Abi Sufyan tahun 661 Maseh. Surat tersebut  ditemui dalam sebuah diwan (arkib) Bani Umayyah oleh Abdul Malik bin Umayr yang disampaikan melalui Abu Ya’yub Ats Tsaqofi, yang kemudian disampaikan melalui Al Haytsam bin Adi. Al Jahizh yang mendengar surat itu dari Al Haytsam menceritakan pendahuluan surat itu sebagai berikut:

 Dari Raja Al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya dibuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah………

Dan surat yang kedua dari Maharaja Sri Indrawarman ditujukan kepada Khalifah Umar Bin Abdul Aziz yang memerintah sekitar Abad ke 8 masehi , yang didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329 H/860-940 M) dalam karyanya Al Iqd Al Farid. Berikut kutipan terjemahannya:

Dari Raja di Raja… yang adalah keturunan seribu raja … kepada Raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.


Bukanlah tujuan saya untuk berlebih-lebihan dalam memaparkan tentang ulasan singkat dari Sejarah Sriwijaya, namun demikian sejarah telah mencatatkan. Dari beberapa keterangan dan sumber kajian yang pernah saya baca, baik itu dari artikel, buku ataupun ulasan-ulasan singkat para bloger yang masih peduli akan sejarah, telah disebutkan bahwa pada masanya Kerajaan Sriwijaya adalah satu-satunya kerajaan nusantara yang berhasil menaklukkan sebagian besar wilayah Nusantara dan Asia Tenggara, seperti yang kita ketahui bahkan pengaruhnya sampai ke India, Indochina, China, Srilanka, Maladewa, Persia (Iran), Iraq, Semenanjung Arab (Timur Tengah) hingga ke Madagaskar dan Benua Afrika. Sejarawan juga bersepakat bahwa penaklukan dan pengaruh Kerajaan Sriwijaya atas sebagian besar Wilayah Nusantara inilah yang menjadi cikal bakal penyebaran dari budaya dan bahasa Melayu di Nusantara, hingga menjadi budaya dan bahasa "bilingual" pemersatu Nusantara pada masa itu hingga saat ini.

Dari abad ke abad, seiring pergantian pangku kekuasaan baik dari penguasa pribumi/putrajaya ataupun penguasa dari bangsa-bangsa penjajah, eksistensi dari Budaya dan Bahasa Melayu sebagai budaya dan bahasa "bilingual" pemersatu Nusantara semakin meluas dan berasimilasi/bercampur dengan budaya dan bahasa setempat di Wilayah Nusantara. Kemudian menjelang masa kemerdekaan, Bahasa Melayu yang berakar dari Bahasa Melayu Sumatera dijadikan sebagai sumber utama bagi lahirnya Bahasa Resmi Negara Indonesia, dan juga sebagai rujukan utama bagi Bahasa Resmi negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam, bahkan negara termuda nomor dua di dunia pecahan dari NKRI yaitu Timor Leste hingga saat ini mayoritas masyarakatnya masih mempergunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama.



Tidak hanya sampai disitu, kejayaan Palembang sebagai pusat dari peradaban sebuah bangsa terus berlanjut, setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya akibat serangan dari tiga kerajaan yang berselisih kekuasaan, diantaranya Kerajaan Cola dari India, Kerajaan Siam dari dataran Thailand, dan Kerajaan Majapahit dari Tanah Jawa. Meskipun tidak secara bersamaan, serangan dari ketiga kerajaan tersebut sangat berpengaruh bagi kemunduran Kerajaan Sriwijaya, dan menyebabkan daerah-daerah kekuasaan dari Kerajaan Sriwijaya mulai terpecah dan memisahkan diri dari pengaruhnya pada abad ke 14.

Pakaian Adat Sumatera Selatan


Keadaan ini sehingga memaksa seorang pewaris tahta dari Kerajaan Sriwijaya yaitu Pangeran Parameswara dengan para pengikutnya hijrah ke Semenanjung, dimana ia singgah lebih dahulu ke Pulau Temasik dan mendirikan Kerajaan Singapura. Pulau ini ditinggalkannya setelah Pangeran Parameswara mendapatkan serangan dari orang-orang Siam. Dari Singapura Pangeran Parameswara kemudian hijrah ke Semenanjung dan mendirikan Kerajaan Melaka. Setelah membina kerajaan ini dengan tradisi kemaritiman yang diwarisi dari Kerajaan Sriwijaya, maka kemudian Kerajaan Melaka menjelma menjadi salah satu kerajaan terbesar di nusantara setelah kebesaran Kerajaan Sriwijaya. Palembang sendiri setelah ditinggalkan Parameswara menjadi negeri yang tak bertuan dan dipenuhi oleh pendatang-pendatang dari dataran China Selatan. Menurut catatan para sejarawan, Kerajaan Majapahit pernah berniat untuk menempatkan seorang Adipati di Palembang, namun ditolak oleh orang-orang Tionghoa yang lambat laun telah menguasai Palembang. Mereka menyebut Palembang sebagai Ku-Kang dan mereka terdiri dari kelompok-kelompok masyarakat Tionghoa yang terusir dari Cina Selatan, yaitu dari wilayah Kanton, Nan-hai, Chang-chou dan Changuan-chou.





Meskipun setiap kelompok ini mempunyai pemimpin sendiri, tetapi mereka sepakat menolak pimpinan dari Majapahit dan mengangkat Liang Tau-Ming sebagai pemimpin mereka. Pada masa ini Palembang dikenal sebagai wilayah yang menjadi sarang bajak laut dari orang-orang Cina tersebut. Tidak heran jika toko sejarah dan legendaris dari China, yaitu Laksamana Chen-ho terpaksa beberapa kali melabuhkan iringan armada dari kapal-kapalnya di Palembang guna memberantas para bajak laut ini.



Pada abad ke-17 kota Palembang menjadi ibukota Kesultanan Palembang Darussalam yang diproklamirkan oleh Pangeran Ratu Kimas Hindi Sri Susuhanan Abdurrahman Candiwalang Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (atau lebih dikenal Kimas Hindi/Kimas Cinde) sebagai sultan pertama (1643-1651), terlepas dari pengaruh kerajaan Mataram (Jawa). Tanggal 7 Oktober 1823 Kesultanan Palembang dihapuskan oleh penjajah Belanda dan kota Palembang dijadikan Komisariat di bawah Pemerintahan Hindia Belanda (kontrak terhitung 18 Agustus 1823), dengan Commisaris Sevenhoven sebagai pejabat Pemerintah Belanda pertama.


Kapal Kincir di Perairan Sungai Musi


Kemudian kota Palembang dijadikan Gameente/Haminte berdasarkan stbld. No. 126 tahun 1906 tanggal 1 April 1906 hingga masuknya Jepang tanggal 16 Februari 1942. Palembang Syi yang dipimpin Syi-co (Walikota) berlangsung dari tahun 1942 hingga kemerdekaan RI.

Jembatan Ampera Tahun 60an


Jembatan Ampera Diwaktu Malam


Berdasarkan keputusan Gubernur Tingkat I Sumatera Selatan No. 103 tahun 1945, Palembang dijadikan Kota Kelas A. Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 948, Palembang dijadikan Kota Besar. Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965, Palembang dijadikan Kotamadya. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tanggal 23 Juli 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Palembang dijadikan Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang.



Itu semua mungkin hanya tinggal sejarah, namun setidaknya hal tersebut mampu membangkitkan lagi semangat bagi generasi muda bangsa ini, untuk dapat meniti dan mengukir kembali kejayaan yang pernah diraih dimasa silam. Sejarah telah membuktikan, bahwasanya bangsa ini tidaklah diciptakan oleh Allah sebagai bangsa yang lemah, namun kita sendirilah yang membuat bangsa ini menjadi terpuruk.

Sumber kutipan dan data sejarah:
- http://infokito.wordpress.com
- http://lokalgenius.blogspot.com
- http://palembangdailyphoto,blogspot.com
- http://bisnispolitik.wordpress.com
- Buku dan artikel bacaan lainnya (Lupa aku judulnya, hehe...)

Benteng Kuto Besak